Resensi : Rumah Kertas

Singkat, padat, rumit, dengan nama-nama tokoh yang kurang familiar, cukup menggambarkan kesan saya dalam menamatkan buku ini. Hmm, bahkan perlu membaca dua kali, karena kurangnya daya ingat saya dalam menghafal nama dan mengikuti alurnya.
---
Judul Buku : La casa de papel (Rumah Kertas)
Penulis : Carlos Maria Dominguez
Penerbit : CV Marjin Kiri dari Guillermo Schavelzon & Asoc., Agencia Literaria, Barcelona
Sebelum diterjemahkan, diterbitkan oleh Ediciones de la Banda Oriental di Montevideo, Uruguay.
Penerjemah : Ronny Agustinus
Tebal : 76 Halaman
Cetakan kedua Oktober 2016

Dimulai dari seorang (sebut saja) asisten dosen jurusan Sastra Amerika Latin di Universitas Cambridge yang mendapati kiriman pos yang ditujukan kepada dosennya. Bluma Lennon, namanya, dia telah meninggal tak lama semenjak kiriman pos tersebut sampai. Disebutkan bahwa pada musim semi 1998 tewas tertabrak mobil sesaat setelah membeli buku Poems karya Emily Dickinson. Isi paket tersebut adalah buku yang berantakan dan sudah koyak, dalam artian penuh dengan kotoran pasir, semen dan tanah-tanah yang berkerak. Buku itu adalah The Shadow-Line karya Joseph Conrad.

Ia, sang asisten dosen pengganti mendiang Bluma, mulai menelusuri asal muasal paket tersebut, dengan hanya berpetunjuk perangko asal Uruguay. Berlandaskan rekam jejak konferensi mendiang Bluma, didapatlah nama Carlos Brauer. Ternyata alamat tujuan untuk menemui Brauer tidaklah tersurat, beberapa langkah perlu dilewati seperti menemui Jorge Dinarli yang merupakan kenalan Brauer dalam urusan profesi hingga menemui Agustin Delgado yang dianggap lebih mengenal Brauer.

Berbekal penjelasan dari Agustin Delgado, bahwa Brauer merupakan rekannya yang addict terhadap buku. Menawar di pelelangan buku, membeli buku yang terbatas jumlah eksemplarnya, buku langka. Saking cintanya dengan buku, dia kehabisan uang karenanya. Sebagai upaya merawat sejumlah besar bukunya, ia membuat kartu, ya! Semacam kartu klasifikasi di perpustakaan, mengatalogisasikan karya-karya, semacam indeks. Dijabarkan dalam buku ini bahwa Brauer sudah terlewat cinta dengan buku kepunyaanya. Hingga tiba terjadi sebuah kesalahan. Terbakarnya indeks yang mati-matian ia susun, menghilangkan semua rekam jejak. Historikal buku dianggap sudah tak berarti seiring dengan hangusnya indeks tersebut. Brauer bingung bagaimana dia harus mencari di antara buku-buku tersebut.

Saking depresinya Brauer terhadap hilangnya jejak tersebut, ia merelakan seluruh bukunya untuk menjadi pengganti batu bata, ya! Ia menggunakannya sebagai bahan baku gubuk di tepi pantai. Singkat cerita, buku yang dialamatkan ke Universitas Cambridge tersebut berasal dari bahan baku gubuk tersebut, persis penuh dengan kotoran semen dan tanah berkerak. Berarti mungkin terdapat hubungan antara Brauer dan Bluma, ya hanya mereka yang tau.

Opini.
Buku setebal 76 halaman ini tidak seperti buku ringkas dengan alur ringan yang mudah dibaca, menurut saya isi buku ini tergolong butuh effort untuk menyelesaikannya, seperti yang saya telah sebutkan di atas, bahwa perlu dua kali pengulangan, untuk dapat mencernanya, (atau mungkin ini hanya saya yang butuh memproses makna lebih lama).

Buku ini juga cukup membuat saya kagum akan orang-orang penyuka buku (yang dituliskan dalam novel ini), ya! Memang bukan sembarang buku yang mereka baca. Buku yang tidak hanya memperluas imajinasi dan khayalan seseorang tapi juga wawasan dan pola pikir yang berpengaruh terhadap perilaku itu sendiri.

Comments